Fenomena Kemiskinan: Sebuah Pendekatan Kelembagaan Informal (Budaya dan Adat-istiadat) di Sumba Barat.

Fenomena Kemiskinan: Sebuah Pendekatan Kelembagaan Informal (Budaya dan Adat-istiadat) di Sumba Barat.


Masyarakat Sumba, khususnya masyarakat Sumba Barat dikenal kaya akan nilai-nilai budaya yang menghormati leluhur dan juga alam. Mereka memiliki kearifan lokal yang bersumber dari kepercayaan Marapu (Agama leluhur penduduk asli Sumba). Di Sumba Barat terdapat ritual adat Wulla podu (Bulan suci bagi penganut kepercayaan Marapu), waktu pamali untuk menangkap ikan, pembuatan garam dengan cara memasak, dan atraksi budaya Pasola yang sudah mendunia. Selain itu juga masih banyak kearifan lokal yang memiliki daya tarik wisatawan seperti Perkampungan adat tradisional dan wisata kuburan batu hasil peninggalan zaman megalithikum. Sumber daya alam yang melimpah, keindahan alam laut, berbagai atraksi budaya dan kearifan lokal untuk memelihara alam, merupakan potensi wilayah Sumba Barat. Kehadiran Nihi Sumba Island sebagai Hotel terbaik dunia (world best awards) tahun 2017 yang diberikan oleh Travel + Leisure, majalah terkenal Amerika Serikat menambah daya tarik investasi di Sumba Barat (sumbabaratkab.go.id). Kabupaten Sumba Barat sebagai salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang kaya akan budaya dan adat istiadat tentu akan menarik banyak wisatawan baik domestik maupun manca negara. Di kabupaten ini masih bisa ditemukan Perkampungan-perkampungan tradisional yang masih memiliki nilai historis, baik dari segi sejarah maupun sosial budaya. Kehidupan sosial masyarakat di Sumba barat sangat memegang teguh amanat leluhur mereka. Hal ini dapat ditelusuri dalam ritual pesta adat, perkawinan, kematian, wulla poddu, dan atraksi pasola (perang lempar lembing sambil menunggangi seekor kuda).
Marapu merupakan agama dan merupakan identitas budaya Sumba, yang menjadi dasar pedoman atau nilai-nilai yang mengatur kehidupan mereka (Soeriadiredja, 2013). Kampung Tarung-Waitabar yang berada di pusat kota Waikabubak sebagai Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Sumba Barat masih mempertahankan nilai budaya dan adat istiadat ditengah era modernisasi. Perkampungan ini juga merupakan salah satu tempat diselenggarakannya ritual adat Wulla poddu yang berlangsung pada bulan November setiap tahun.
Permasalahan kemiskinan, gizi buruk dan buta aksara merupakan masalah klasik yang hingga saat ini belum tuntas terselesaikan terutama di Kabupaten Sumba Barat yang merupakan salah satu daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih menghadapi permasalahan kemiskinan dengan predikat ranking 1 (satu) termiskin di NTT sehingga menjadi salah satu Kabupaten yang menjadi perhatian publik (BPS NTT, 2017). Kondisi gizi buruk dan buta aksara sangat erat kaitannya dengan kemiskinan sebagai dampak dari lingkaran setan kemiskinan. Pada tahun 2017, Dinas sosial Sumba Barat menetapkan terdapat 14.071 masyarakat sangat miskin. Berdasarkan data publikasi Badan Pusat Statistik Sumba Barat, jumlah penduduk miskin sebesar 29,34% dengan garis kemiskinan sebesar Rp 290.944 perkapita/bulan sedangkan pengeluaran rill masyarakat hanya sebesar Rp 6.914 perkapita. Kondisi gizi buruk di Sumba Barat cukup besar yaitu sebesar 65 kasus, sedangkan kondisi buta aksara berada pada angka 16,23% tertinggi di NTT ( BPS Sumba Barat, 2017).
Syaifullah (2008:22) mengemukakan bahwa konsep kemiskinan tidak hanya dilihat pada ukuran rendahnya sumber daya manusia untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik. Melainkan kemiskinan juga harus dilihat dari lingkungan alam (kemarau, bencana alam) yang dihuni oleh sekelompok masyarakat tertentu. Selain itu, peperangan dan struktur masyarakat seperti pola kebudayaan dan pemerintahan yang korupsi serta upah rendah juga turut mendukung terciptanya masyarakat miskin. Masyarakat Sumba Barat pada umumnya memegang teguh tradisi leluhurnya yang dinilai sebagai warisan yang paling luhur. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa nilai-nilai luhur kebudayaan telah menghasilkan generasi yang menjunjung tinggi nilai solidaritas, kekeluargaan, dan keakraban masyarakat. Namun dibalik nilai-nilai luhur tersebut terimplisit perilaku sosial yang menguras harta benda seperti dalam budaya pemakaman orang mati yang bisa menghabiskan puluhan ekor kerbau ataupun kuda serta babi yang tak terhitung jumlahnya. Padahal hewan-hewan tersebut mempunyai nilai jual yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Realitas lain yang tersembunyi dibalik ritual adat yang syarat gengsi dalam stratifikasi masyarakat Sumba Barat itu adalah bahwa hewan-hewan korban banyak diperoleh dengan cara berhutang. Fenomena seperti ini sangat merugikan pihak yang berhutang dan menguntungkan pihak pemilik modal (piutang). Akibatnya muncul konglomerat baru ditengah masyarakat Sumba Barat yang memiliki tanah luas dan hewan yang banyak. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu melunasi hutangnya terpaksa menggadaikan tanah atau lahan pertanian kepada pemilik modal.
Tradisi masyarakat Sumba yang pada umumnya mengorbankan ternak dalam jumlah besar terutama pada saat kematian, pesta adat, dan perkawinan dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan, gizi buruk dan buta aksara di Sumba Barat. Tradisi pemotonganan hewan dalam jumlah besar seperti ini tentu akan memicu tingkat kesengsaraan dan kemiskinan di Sumba Barat. Pemerintah Daerah Sumba Barat telah berupaya menggalakan hidup hemat dengan membatasi pemotongan hewan pada pesta adat, baik acara kematian maupun pesta adat lainnya. Namun kebijakan ini disoroti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Sumba Barat dengan menilai bahwa pesta adat adalah warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan. Perbedaan pendapat antara Pemerintah Daerah dan DPRD Sumba Barat menunjukkan bahwa dalam struktur kelembagaan Pemerintah tidak terdapat hubungan birokrasi yang sehat dalam upaya mengubah budaya dan adat istiadat yang boros tersebut dan perlu disesuiakan dengan kemajuan zaman. Sehingga kehidupan ekonomi rakyat kecil terus tumbuh hingga menyekolahkan anaknya dan menjamin kebutuhan gizi anaknya. Dengan demikian, dari tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan gagasan baru kepada Pemerintah Daerah Sumba Barat serta masyarakat umum.
Marapu merupakan agama dan merupakan identitas budaya Sumba, yang menjadi dasar pedoman atau nilai-nilai yang mengatur kehidupan mereka (Soeriadiredja, 2013). Pengertian Marapu bagi mereka terbatas pada adat istiadat nenek moyang saja, dan bukan sebagai keyakinan yang mereka anut. Kampung Tarung-Waitabar yang berada di pusat kota Waikabubak sebagai ibu kota kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Sumba Barat masih mempertahankan nilai budaya dan adat istiadat ditengah era modernisasi. Kampung ini juga merupakan salah satu tempat berlangsungnya ritual adat wulla poddu yang berlangsung pada bulan November setiap tahun.
Masyarakat Sumba Barat pada umumnya memegang teguh tradisi leluhurnya yang dinilai sebagai warisan yang paling luhur. Namun dibalik nilai-nilai luhur tersebut terimplisit perilaku sosial yang menguras harta benda seperti dalam ritual pemakaman orang mati yang bisa menghabiskan puluhan ekor kerbau ataupun kuda serta babi yang tak terhitung jumlahnya. Padahal hewan-hewan tersebut mempunyai nilai jual tinggi yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Realitas lain yang tersembunyi dibalik ritual adat yang syarat gengsi dalam stratifikasi masyarakat Sumba Barat itu adalah bahwa hewan-hewan korban banyak diperoleh dengan cara berhutang. Fenomena seperti ini sangat merugikan pihak yang berhutang dan menguntungkan pihak pemilik modal (piutang). Akibatnya muncul konglomerat baru ditengah masyarakat Sumba Barat yang memiliki tanah luas dan hewan yang banyak. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu melunasi hutangnya terpaksa menggadaikan tanah atau lahan pertanian kepada pemilik modal.
Di Sumba Barat, anak-anak sejak kecil sudah dilatih untuk membantu orang tuanya bekerja di rumah, di kebun, atau di padang pengembalaan. Kejadian seperti ini berdampak pada kualitas anak-anak seperti pengetahuan dan kondisi kesehatan (gizi). Tradisi masyarakat Sumba yang pada umumnya mengorbankan ternak dalam jumlah besar pada saat ritual kematian, pesta adat, dan perkawinan juga dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan, gizi buruk dan buta aksara di Sumba Barat. Apabila kelembagaan informal budaya dan tradisi pemotonganan hewan dalam jumlah besar ini tidak dikurangi dan tidak diatur oleh Pemerintah, maka akan memicu tingkat kesengsaraan dan kemiskinan di Sumba Barat baik jangka pendek maupun jangka Panjang.

Comments

Popular Posts