Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious Circle of Proverty)
Lingkaran Setan Kemiskinan
(vicious circle of proverty)
Latar Belakang.
Kemiskinan
merupakan salah satu masalah makro ekonomi yang menjadi perhatian khusus bagi
negara manapun, terlebih utama bagi negara-negara sedang berkembang. Kemiskinan
merupakan permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi nasional suatu negara dan
juga kondisi global. Menurut Kunarjo (Munir, 2002:10) suatu Negara
dikatakan miskin biasanya di tandai dengan pendapatan perkapita
rendah, pertumbuhan tingkat penduduk yang tinggi,sebagian besar tenaga kerja
bergerak di bidang pertanian dan terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan.
Di Indonesia masalah kemiskinan merupakan masalah yang cukup rumit yang di hadapi oleh pemerintah. Kondisi kemiskinan di Indonesia diperparah oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana jumlah penduduk miskin mulai meningkat. Usaha pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan sangatlah serius bahkan menjadi prioritas utama pemerintah. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan mengadakan pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menaikkan pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun hal tersebut belum bisa mengatasi masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak diiringi dengan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat akibatnya masyarakat tidak dapat keluar dari sebuah teori yang di temukan oleh seorang ahli ekonomi asal Swedia, Ragnar Nurkse yaitu lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of proverty).
Di Indonesia masalah kemiskinan merupakan masalah yang cukup rumit yang di hadapi oleh pemerintah. Kondisi kemiskinan di Indonesia diperparah oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana jumlah penduduk miskin mulai meningkat. Usaha pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan sangatlah serius bahkan menjadi prioritas utama pemerintah. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan mengadakan pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menaikkan pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun hal tersebut belum bisa mengatasi masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak diiringi dengan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat akibatnya masyarakat tidak dapat keluar dari sebuah teori yang di temukan oleh seorang ahli ekonomi asal Swedia, Ragnar Nurkse yaitu lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of proverty).
Pengertian lingkaran setan kemiskinan.
Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of proverty) adalah
serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi, sehingga menimbulkan suatu
keadaan dimana suatu negara khususnya negara berkembang mengalami banyak
masalah untuk mencapai masalah pembangunan yang lebih tinggi. Menurut ahli ekonomi pembangunan, lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung
pangkal mengatakan bahwa penduduk pedesaan terperangkap dalam lingkaran
tersebut. Lingkaran tersebut mencakup pendapatan yang rendah, tabungan yang
rendah, dan produktifitas yang rendah juga. Oleh karena itu lingkaran kemiskinan
tersebut perlu ditinjau dari sistem sosial masyarakat secara kesuluruhan dalam
masyarakat tersebut. Sistem sosial yang dimaksud adalah hubungan antara
faktor-faktor yang meliputi sikap dan perilaku masyarakat
dalam menghadapi masalah kehidupan dan bekerja, birokrasi pemerintah, pola
pertalian keluarga, agama dan adat istiadat di lingkungan mereka. Sedangkan menurut Nurkse (Kuncoro, 2006) lingkaran setan kemiskinan terjadi akibat
karena keterbelakangan,
ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menjadi penyebab produktivitas
rendah sehingga pendapatan yang di terima juga rendah akibatnya berdampak pada
berkurangnya tabungan dan investasi yang menyebabkan keterbelakangan dan hal
ini terjadi seterusnya.
Berikut adalah gambar lingkaran setan kemiskinan yang terjadi:
(Gambar: Lingkaran setan kemiskinan) |
Gambar Lingkaran setan kemiskinan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
- Karena miskin, seseorang akan memiliki pendapatan yang kecil. Karena pendapatannya kecil, daya beli informasi dan pengetahuannya juga kecil. Daya beli pengetahuan dan informasi yang rendah ini, akan menyebabkan masyarakat yang miskin tidak memiliki pengetahuan yang kurang. Pengetahuan yang kurang, akan menyebabkan produktivitas seseorang menjadi kecil. Karena produktivitasnya yang kecil inilah yang membuat masyarakat akan jatuh miskin lagi.
- Karena miskin, seseorang hanya akan memiliki tabungan yang kecil. Tabungan yang kecil, akan membuat kepemilikan modal seseorang menjadi kecil pula. Kepemilikan modal yang keciltersebut akan mengakibatkan produksinya rendah serta pendapatannya kecil. Karena pendapatannya kecil, ia akan jatuh miskin lagi.
- Karena miskin, seseorang hanya akan memiliki kemampuan konsumsi yang rendah. Kemampuan konsumsi yang rendah ini akan membuat seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan papan, sandang, dan pangannya secara layak. Hal ini juga akan berdampak pada buruknya status gizi seseorang. Seseorang dengan status gizi yang buruk akan memiliki produktivitas kerja yang buruk pula. Dari rendahnya produktivitas inilah, produksinya juga akan rendah, dan sekali lagi ia akan jatuh miskin.
Cara mengatasinya
Sebenarnya makna dari lingkaran setan kemiskinan tersebut adalah keharusan semua pihak terutama pemerintah untuk memiliki keinginan yang kuat memutus siklus tersebut. Lingkaran tersebut tidak akan pernah terpotong apabila tidak ada satu bagian dari lingkaran tersebut yang dihilangkan. Dari siklus lingkaran setan kemiskinan diatas maka untuk menuntaskan masalah kemiskinan tersebut harus ada kebijakan-kebijakan sebagai berikut dari pemerintah :
1. Meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pembukaan lapangan pekerjaan.
2. Menggratiskan dan memajukan pendidikan.
3. Jaminan atas terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat (papan, sandang,
pangan).
4. Menggratiskan fasilitas kesehatan.
5. Pemberian modal gratis bagi usaha rakyat miskin.
Cara mengimplementasinya di Indonesia.
Pada awal
pembangunan di Indonesia, beredar suatu teori yang sangat terkenal yang
dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi asal Swedia, Ragnar Nurkse. Teori itu
disebut teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”, terjemahan dari “Vicius Sircle of
Poverty”. Inti teori
ini mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap
miskin, serta produktivitasnya rendah. Kerana rendah produktivitasnya, maka
penghasilan seseoarang juga rendah dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka tidak bisa menabung. Padahal
tabungan adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat sehingga capitalnya
besar. Untuk bisa membangun perekonomian suatu negara, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada
titik lingkaran rendahnya produktivitas, sebagai sebab awal.
Caranya adalah dengan memberi modal kepada pelaku ekonomi. Modal tersebut berasal dari utang luar negeri. Dari sinilah maka pemerintah terjebak dari teori itu. Dengan alasan tidak memiliki modal rupiah atau devisa, maka pemerintah melakukan utang luar negeri. Dalam wacana selanjutnya berdasar pengalaman negara-negara sedang berkembang muncul teori mengkoreksinya dan berikut adalah cara untuk mengatasinya :
- Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan di Indonesia dari sisi supply (penawaran) yaitu dengan meningkatkan produktifitas yang rendah tersebut sehingga penghasilan yang mereka dapat bisa meningkga, dengan meningkatnya penghasilan mereka maka sebagian dari penghasilan tersebut dapat mereka tabung, dengan menabung maka investasi akan meningkat dan modal akan menjadi besar.
- Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi demand (permintaan) yaitu dengan meningkatkan pendapatannya. Hal ini akan berdampak kepada permintaan meningkat dan investasi juga meningkat maka modal menjadi efisien. Dengan demikian produktifitas dapat meningkat.
- Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi keterbelakangan sumber alam dan manusia yaitu dengan memutar keterbelakangan itu sendiri , dengan begitu negara dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan tersebut.
Contoh kasus di daerah
"Relasi
Antara Pendidikan dan Kemiskinan di Pulau Sumba, NTT"
Menurut data pendidikan
BPS kab. Sumba timur
pada tahun 2012, persentase penduduk
yang berumur diatas 10 tahun yang tidak bersekolah lagi sekitar 58.3 % dan yang
tidak memiliki ijazah sekitar 46.83 %. Selain itu presentase buta huruf adalah 12.14%. Angka
ini masih tinggi bila dibandingkan rata-rata persentase jumlah buta huruf di
NTT (9.70%). Jika pendidikan tidak diperhatikan di Sumba Timur maka hampir setengah bagian penduduknya tidak
bersekolah, akibatnya secara teoritis hal ini akan berdampak negative terhadap
tingkat kemiskinan. Sebagai ilustrasi dari kasus tersebut adalah bila tidak bersekolah maka tidak akan
mendapatkan ijazah untuk bisa melamar sebuah pekerjaan dengan gaji yang lebih
baik dan akibatnya tetap tinggal dalam lingkaran setan kemiskinan dan susah
memberikan asupan makanan bergizi bagi keluarganya.
Bisa dibayangkan di Sumba Timur setengah bagian penduduknya tidak memiliki ijazah artinya susah mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka tidak mampu memberikan nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Tidak heran bila gizi buruk terjadi di Sumba dan akibatnya Sumba sedang kehilangan generasi muda berikutnya. Siklus ini akan berulang terus-menerus seperti lingkaran setan dan masih menjadi area termiskin di Indonesia dari tahun ke tahun. Ada pertanyaan bahwa mengapa orang miskin selalu miskin. Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika Serikat mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena ketidakmampuan orang miskin dalam menggunakan semua pelayanan dan fasilitas yang ada, notabene sistem pendidikan di Amerika memang sangat luar biasa maju. Tetapi penulis berpikir bahwa mereka akan mencabut pernyataan mereka saat datang ke desa-desa terpencil di Sumba , dimana anak-anak harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk ke sekolah dan kemudian pulang ke rumah lalu membantu orang tua mereka untuk mengambil air yang juga tidak kalah jauh dengan sekolahnya. Belum lagi sampai di sekolah mereka harus menunggu gurunya karena harus mengajar dua atau tiga kelas secara bersamaan.
Disinilah peran pemerintah dalam membangun sebuah sistem khususnya dalam pendidikan agar semua orang masuk dalam sistem itu dan tidak ada lagi buta huruf karena fungsi pemerintah digaji dari pajak masyarakat untuk membuat suatu sistem dimana bisa mensejahterakan rakyatnya. Dan tentunya peran serta masyarakat tidak bisa dipungkiri mempunyai peranan dalam pemberantasan buta huruf. Sebagai salah satu warga Sumba, penulis percaya bahwa suatu saat Sumba bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan itu apabila :
Bisa dibayangkan di Sumba Timur setengah bagian penduduknya tidak memiliki ijazah artinya susah mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka tidak mampu memberikan nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Tidak heran bila gizi buruk terjadi di Sumba dan akibatnya Sumba sedang kehilangan generasi muda berikutnya. Siklus ini akan berulang terus-menerus seperti lingkaran setan dan masih menjadi area termiskin di Indonesia dari tahun ke tahun. Ada pertanyaan bahwa mengapa orang miskin selalu miskin. Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika Serikat mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena ketidakmampuan orang miskin dalam menggunakan semua pelayanan dan fasilitas yang ada, notabene sistem pendidikan di Amerika memang sangat luar biasa maju. Tetapi penulis berpikir bahwa mereka akan mencabut pernyataan mereka saat datang ke desa-desa terpencil di Sumba , dimana anak-anak harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk ke sekolah dan kemudian pulang ke rumah lalu membantu orang tua mereka untuk mengambil air yang juga tidak kalah jauh dengan sekolahnya. Belum lagi sampai di sekolah mereka harus menunggu gurunya karena harus mengajar dua atau tiga kelas secara bersamaan.
Disinilah peran pemerintah dalam membangun sebuah sistem khususnya dalam pendidikan agar semua orang masuk dalam sistem itu dan tidak ada lagi buta huruf karena fungsi pemerintah digaji dari pajak masyarakat untuk membuat suatu sistem dimana bisa mensejahterakan rakyatnya. Dan tentunya peran serta masyarakat tidak bisa dipungkiri mempunyai peranan dalam pemberantasan buta huruf. Sebagai salah satu warga Sumba, penulis percaya bahwa suatu saat Sumba bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan itu apabila :
- Pemerintah daerah Sumba menegakkan Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tentang Wajib Belajar 9 tahun dimana Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselengggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya dan setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar. Berangkat dari peraturan tersebut maka perlu dipersiapkan satpol PP atau linmas untuk memantau siswa yang berusia wajib belajar agar berada di sekolah. Memantau di desa-desa terpencil para orang tua agar tidak menahan anaknya untuk bersekolah demi bekerja di kebun. Memberi sanksi pada orang tua yang tidak mengirim anaknya untuk sekolah minimal sampai tamat SD.
- Pemerintah perlu mengawal dana BOS. Pengawalan penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ini bertujuan agar tidak ada lagi pungutan-pungutan liar lainnya. Jadi tidak ada alasan lagi para orang tua untuk tidak mengirim anaknya ke sekolah dengan alasan biaya. Dana sebesar ini sangat rentan dengan korupsi maka diperlukan hati nurani bahwa bila mengambil uang ini maka secara tidak langsung membunuh masa depan ratusan anak. Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap oknum yang menggelapkan dana ini.
- Pemerataan jumlah guru Menurut BPS jumlah ideal guru dan murid adalah 1:20. Penyebaran ini tidak merata di Sumba Timur. Perbandingan ini sangat tidak seimbang dimana jumlah murid lebih banyak dari guru khususnya di daerah terpencil.
- Pemerintah daerah perlu menerapkan Sistem “reward and punishing” bagi guru dengan cara memberikaan penghargaan terhadap guru berprestasi bukan hanya dengan trophi tapi tabungan dalam jumlah yang besar atau mendapat fasilitas yang terbaik dalam kurun waktu tertentu seperti pelayanan rumah sakit dll. Tapi ada beberapa oknum guru yang tidak baik. Polanya adalah pada saat menjadi guru honorer mereka sangat rajin tapi setelah diangkat menjadi PNS mereka meninggalkan tugas selama berbulan-bulan. Akibatnya satu guru dapat mengajar 3-4 kelas dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu dinas PPO setempat harus bertindak keras terhadap oknum-oknum ini. Inspeksi mendadak merupakan salah cara sangat baik untuk mengurangi tindakan indisipliner para oknum guru.
- Pemberian beasiswa bagi siswa dan mahasiswa berprestasi. Melalui program kerjasama antara pemerintah daerah dengan universitas terkenal di Indonesia maka putri-putri terbaik Sumba bisa melanjutkan studinya. Pengaturan dana beasiswa sangat rentan terhadap korupsi dan sebaiknya pengaturan diberikan pada kontraktor pendidikan sehingga mereka bisa mengawal dana dan memberi perhatian lebih pada mahasiswa sehingga mereka bisa lulus dengan nilai terbaik. Hal ini bisa dicontoh dari pemberian beasiswa luar negeri seperti beasiswa PRESTASI dan lakukan hal yang sama bagi siswa-siswa dari daerah terpencil untuk melanjutkan sekolah menengah di kota-kota terdekat.
- Pembuatan kurikulum PPO tentang kemandirian siswa atau problem solving. Mendorong dinas PPO untuk membuat kurikulum tambahan atau lokal, khususnya pada sekolah dasar yang menekankan pada kemandirian, kebebasan dengan batasan tertentu dan menghargai perkembangan anak sebagai individu yang unik. Karena pada usia ini, dasar atau nilai kemandirian sangat penting untuk ditanamkan. Bagi siswa menengah, penyediaan kurikulum tambahan dengan menggunakan sistem problem solving sangat penting. Contohnya pemberian project sederhana dalam satu semester seperti bagaimana menghasilkan hasil panen padi dengan menggunakan pupuk organik pada siswa yang tinggal di pedesaan. Dan contoh lain yang dapat diberikan adalah berdasarkan masalah atau tantangan pada kehidupan sehari-hari.
- Pemerintah perlu mengajak tokoh masyarakat di setiap desa agar mendorong masyarakat bersekolah, Pengaruh kaum maromba (sistem kerajaan yang masih berlaku di sumba timur) dan kepala desa masih sangat kental dengan lingkungan khususnya di daerah terpencil. Oleh karena itu pemerintah perlu menggandeng para tokoh masyarakat untuk mengajak orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah agar tetap menyekolahkan anaknya. Masalah ini tidak gampang diselesaikan dengan hanya kata-kata bila sudah berbicara menyangkut pendidikan.
- Pemerintah perlu bekerjasama dengan LSM baik berskala lokal maupun internasional yang mengangkat isu-isu pendidikan anak-anak sehingga pemerintah saling melengkapi sehingga masalah pendidikan di Sumba bisa diatasi bersama.
Comments
Post a Comment