Transaksi wajib rupiah

REGULASI BANK INDONESIA 
“ WAJIB RUPIAH ”



     Oleh : ADIYOAB L. U. KALEKA







KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah “Topik Kontemporer Perbankan” dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.






Surabaya, 29 September 2017

        
                                                                                         Penulis









BAB I
PENDAHULUAN

     1.1  Latar belakang
Nilai tukar Rupiah yang stabil dan berdaulat tentunya merupakan harapan kita semua. Meskipun demikian, tekanan pada nilai tukar rupiah memberikan dampak yang luas terhadap perekonomian secara umum. Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas (fee floating exchange rate system), nilai tukar rupiah ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran. Sejak tahun 2011, kondisi di pasar valuta asing (valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas terutama dollar AS daripada pasokannya. Tingginya permintaan dollar AS tersebut didasari oleh beberapa alasan antara lain untuk kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri, dan penjualan barang dan jasa dalam satuan valuta asing khususnya di wilayah perbatasan NKRI.
Kondisi global saat ini juga memberikan pengaruh yang negatif terhadap rupiah. Rencana kenaikan suku bunga the fed telah mengakibatkan dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia termasuk rupiah. Di tahun 2015 jumlah transaksi valuta asing dalam negeri mencapai 160 miliar dollar AS. Selain itu, rasio pembayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor (Debt Service Ratio / DSR) juga meningkat dari sekitar 15% ditahun 2007 menjadi 54% ditahun 2015. Sehubungan dengan hal itu, pada 1 juli 2015, BI mengeluarkan peraturan bank Indonesia mengenai kewajiban penggunaan rupiah. Pemberlakuan regulasi ini sangat penting kaitannya dengan aktivitas ekonomi secara umum, terutama transaksi di Indonesia.
Selain kedua faktor secara geoekonomi diatas, kita juga harus melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing dalam berbagai transasksi di wilayah NKRI. Dalam praktik sehari-hari masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak menggunakan rupiah dan cenderung memilih menggunakan mata uang asing. Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antar penduduk Indonesia jumlahnya mencapai angka 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun setiap bulan yang berarti dalam setahun bisa mencapai Rp 936 triliun. Fenomena tingginya transaksi mata uang asing tersebut bahkan telah merambah ke sektor ekonomi mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur hingga pelabuhan. Penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI tentu tidak bisa dipandang sebagai konsekuensi liberalisasi, namun dapat dilihat sebagai bentuk ancaman (soft invasion) terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara.
Sesungguhnya, UU Mata Uang telah mengatur rupaih sebagai salah satu simbol kedaulatan negara. Berbagai peraturan yang ada juga menjadi pondasi yang kuat terhadap kewajiban penggunaan rupiah di tanah air, baik transaksi tunai maupun non tunai. Namun, kecenderungan penggunaan mata uang asing dalam hal ini dollar AS dalam transaksi telah meluas dan menjadi praktik keseharian pada beberapa aktivitas ekonomi. Maraknya penggunaan mata uang asing turut memberi tekanan pada nilai rupiah. Latar belakang tentang terbitnya PBI tentang kewajiban penggunaan rupiah tidak hanya didasari pada dimensi ekonomi, namun juga pada dimensi hukum dan kebangsaan.
Pengalaman beberapa negara di Amerika latin, karibia dan pasifik, membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya akan memperlemah perekonomian nasional dan menimbulkan ketidakpastian. Bahkan Indonesia juga memiliki pengalaman pahit seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena Rupiah tidak lagi digunakan untuk bertransaksi disana. Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak kita inginkan tersebut, maka kita sebagai masyarakat perlu mendukung penggunaan mata uang rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI. Pemerintah juga telah mengeluarkan UU mata uang No. 7 tahun 2011 dan selanjutnya Bank Indonesia juga menerbitkan peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI.

    1.2  Rumusan masalah
a. Bagaimana dampak transaksi valuta asing dalam negeri   terhadap nilai tukar rupiah?
b. Bagaimana peran Bank Indonesia dan mata uang rupiah   dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI
c. Bagaimana kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia   terhadap tingginya transaksi mata uang asing dalam negeri   khususnya di wilayah perbatasan NKRI.
    1.3  Tujuan penulisan
a.  Untuk mengetahui dampak dan akibat dari adanya transaksi valuta asing dalam negeri terhadap nilai tukar rupiah dengan mata uang asing.
b. Untuk mengetahui peran dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter  dan rupiah sebagai mata uang Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI.
c. Untuk mengetahui paket kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menekan maraknya transaksi mata uang asing didalam negeri khususnya di wilayah perbatasan NKRI.
     1.4  Manfaat penulisan
a. Bagi penulis
Untuk memenuhi tugas presentasi mata kuliah Topik kontemporer perbankan.
b. Bagi pembaca
1).Diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan mengenai peran Rupiah dalam menjaga kedaulatan NKRI.
2).Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam membahas secara mendalam mengenai dampak penggunaan valuta asing terhadap nilai tukar rupiah dengan mata uang negara asing (dollar AS).



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Valuta asing
Valuta asing (valas) adalah mata uang yang dapat digunakan atau mudah diterima oleh banyak negara dalam perdagangan internasional. Menurut hamdy Hadi (1997 : 15), valuta asing merupakan sebuah mata uang asing yang dipakai sebagai alat pembayaran untuk membiayai transaksi ekonomi keuangan internasioal serta memiliki catatan kurs resmi pada bank sentral. Menurut survei BIS (Bank International for Settlement, bank sentral dunia), yang telah dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4 triliun per harinya. Menurut Jose Rizal Joesoef (2008:4), valuta asing adalah mata uang asing atau alat pembayaran luar negeri.
Valuta asing bagi setiap negara saat ini memiliki peran yang cukup besar dalam melakukan hubungan dengan luar negeri, terutama hubungan dagang atau perdagangan internasional. Adapun fungsi dari valuta asing antara lain dapat dipergunakan sebagai:
  a) Alat Tukar Internasional : Valuta asing dapat dipergunakan sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar barang atau jasa dengan negara lain. 
  b) Alat Pembayaran Internasional : Jika pemerintah mempunyai utang dari negara lain maka pembayaran cicilan utang dan bunganya harus dilakukan dengan valuta asing. 
  c) Alat Pengendali Kurs : Kurs sendiri dapat diartikan sebagai perbandingan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain, dimana kurs mata uang suatu negara bisa menguat ataupun melemah.Valuta asing dapat digunakan sebagai dapat alat untuk mengendalikan kurs/nilai rupiah terhadap mata uang asing.
  d) Alat Memperlancar Perdagangan Internasional : Adanya valuta asing akan mempermudah dan memperlancar suatu negara dalam mengadakan perdagangan dengan negara lain. Valuta asing berfungsi sebagai alat tukar atau mempermudah perdagangan internasional.
   Perubahan permintaan dan penawaran suatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno, 2004:402).
a).Perubahan dalam cita rasa masyarakat.
b).Perubahan harga barang ekspor dan impor.
c).Kenaikan harga umum (inflasi).
d).Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian       investasi.
e).Pertumbuhan ekonomi.

2.2  Nilai tukar (kurs)
Stabilitas nilai tukar merupakan prasyarat mutlak bagi kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. Bagi indonesia, stabilitas nilai tukar rupiah merupakan hal yang sangat penting karena berdasarkan sejarah krisis moneter dan keruntuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai Juli 1997 berawal dari fluktuasi nilai rupiah yang tidak terkontrol. UU No.23 tahun 1999 pasal 7 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa secara tegas mengenai hal ini bahwa tujuan BI adalah memelihara stabilitas nilai tukar rupiah.  
Menurut Musdholifah & Tony (2007), nilai tukar atau kurs adalah perbandingan antara harga mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Misal kurs rupiah terhadap dollar Amerika menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan untuk ditukarkan dengan satu dollar Amerika.
Menurut Triyono (2008), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan nilai tukar rupiah adalah suatu perbandingan antara nilai mata uang suatu negara dengan negara lain. Heru (2008) menyatakan bahwa nilai tukar mencerminkan keseimbangan permintaan dan penawaran terhadap mata uang dalam negeri maupun mata uang asing. Merosotnya nilai tukar rupiah merefleksikan menurunnya permintaan masyarakat terhadap mata uang rupiah karena menurunnya peran perekonomian nasional atau karena meningkatnya permintaan mata uang asing sebagai alat pembayaran internasional. Semakin menguatnya kurs rupiah sampai batas tertentu berarti menggambarkan kinerja di pasar uang menunjukkan perbaikan. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pun mempunyai pengaruh negatif terhadap ekonomi secara umum.
Perubahan geoekonomi dan geopolitik yang terjadi disuatu negara, juga akan mengakibatkan perubahan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap nilai tukar mata uang negara lain  secara substansial. Dalam hal ini kenaikan atau penurunan nilai tukar karena adanya intervensi pemerintah, seperti kebijakan bank sentral dalam menjaga nilai tukar mata uang negara tersebut.
Secara ekonomi, nilai tukar mata uang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (Mnakyw,2007)
a).Nilai tukar mata uang nominal
Nilai tukar mata uang nominal merupakan perbandingan harga relatif dari mata uang antara dua negara.
b).Nilai tukar mata uang rill
Nilai tukar mata uang rill adalah perbandingan harga relatif barang yang terdapat di dua negara. Dengan kata ain, nilai tukar mata uang rill menyatakan tingkat harga dimana kita bisa memperdagangkan barang dari suatu negara dengan negara lain. Dengan demikian, nilai tukar mata uang rill bergantung pada tingkat harga barang dalam mata uang domestik serta nilai mata uang domestik tersebut terhadap mata uang asing. Apabila nilai tukar mata uang rill dari mata uang domestik tinggi, maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih murah dan harga barang-barang didalam negeri relatif lebih mahal. Sebaliknya jika nilai tukar mata uang rill dari mata uang domestik rendah, maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih mahal dan harga barang-barang didalam negeri relatif lebih murah.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan sistem nilai tukar atau rezim niali tukar mata uang (exchange rate regime) mulai mendapat perhatian besar dari para ahli ekonomi sejak akhir periode Bretton Woods pada tahun 1971 serta setelah terjadinya serangkaian krisis nilai tukar mata uang di beberapa negara baik di negra maju maupun di negara berkembang. Hal ini kemudian memunculkan konsep impossible trinity yang menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat mencapai tiga sasaran moneter, yaitu stabilitas nilai tukar (exchange rate stability), independensi kebijakan moneter (monetary independence), dan integrasi kepada pasar keuangan dunia (full financial integration). Oleh karena itu, suatu negara harus menentukan sistem dan kebijakan niali tukarmata uangnya yang sesuai untuk dapat mencapai sasaran kebijakan moneter yang dipilihnya.
Berdasarkan kebijakan tingkat pengendalian nilai tukar mata uang yang diterapkan suatu negara, sistem nilai tukar mata uang secara umum dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu (Madura, 2008)
a)      Sistem nilai tukar uang tetap (fixed exchange rate system)
Dalam sistem nilai tukar tetap, niali tukar mata uang akan diatur oleh otoritas moneter untuk selalu konstan atau dapat berfluktuasi namun hanya dalam suatu batas yang kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otoritas moneter memelihara nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing pada nilai tertentu dengan cara membeli atau menjual mata uang asing untuk mata uang domestik pada harga yang tetap.
b)      Sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas (free floating exchange rate system)
Dalam sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas, nilai tukar mata uang ditentukan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi dari pemerintah sehingga nilainya bersifat fleksibel. Dalam sistem ini, otoritas moneter diberikan keleluasaan untuk menerapkan kebijakan moneter secara independen tanpa harus memelihara nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing pada nilai tertentu. Dengan sistem seperti ini, negara akan terhindar dari inflasi terhadap negara lain serta masalah-masalah ekonomi yang dialami suatu negara lain tidak akan mudah menyebar kenegara lain. Selain itu, otoritas moneter hanya fokus pada kebijakan-kebijakan moneter yang membawa dampak positif pada perekonomian. Namun dengan sistem nilai tukar seperti ini, nilai tukar mata uang akan selalu berfluktuasi sesuai dengan mekanisme pasar sehingga terdapat ketidakpastian nilai tukar yang dihadapi oleh dunia usaha.
c)      Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali (managed float exchange rate system)
Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali merupakan perpaduan antara sistem nilai tukar mata uang tetap dan nilai tukar mata uang mengambang bebas. Dalam sistem ini, nilai tukar mata uang dibiarkan berfluktuasi setiap waktu tanpa ada batasan nilai yang ditetapkan. Namun, karena nilai tukar mata uang dollar AS yang cenderung stabil, maka nilai tukar mata nilai tukar mata uang domestik pun cenderung stabil terhadap mata uang asing lainnya.
d)     Sistem nilai tukar mata uang terikat (pegged exchange rate system)  
Nilai tukar mata uang domestik dikaitkan atau ditetapkan terhadap satu atau beberapa mata uang asing, biasanya dengan mata uang asing cenderung stabil, misalnya dollar AS. Dengan demikian nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing selain dollar AS akan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi nilai tukar dollar AS yang cenderung stabil, maka nilai tukar mata uang domestik pun cenderung stabil terhadap mata uang asing lainnya.
Di Indonesia, sejak tahun 1996 hingga sekarang telah diterapkan empat sistem niali tukar mata uang yang berbeda yang terbagi menjadi beberapa periode waktu. Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia menetapkan sistem nilai tukar mata uang berdasarkan berbagai pertimbangan khususnya yang berkaitan dengan kondisi ekonomi saati itu. Perry dan Solikin (2003) memapasrkan sistem nilai tukar mata uang yang berlaku di Indonesia:
a)      Sistem nilai tukar mata uang berganda (multiple exchange rate system)
Sistem nilai tukar ini diterapkan sejak oktober 1996 sampai juli 1971. Penggunaan sistem ini dimaksudkan untuk menghadpi fluktuasi nilai rupiah serta untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing yang hilang karena danya inflasi dua digit selama periode tersebut.
b)      Sistem nilai tukar mata uang tetap (fixed exchange rate)
Sistem nilai tukar mata uang ini berlaku sejak agustus 1971 sampai oktober 1978. Dengan sistem ini nilai rupiah ditetapkan dalam suatu nilai tetap terhadap dollar AS, yaitu US$1=Rp. 415,00. Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh kuatnya neraca pembayaran dalam kurun waktu tersebut karena disebabkan oleh besarnya penerimaan dari sektor migas yang meningkatkan cadangan devisa. Hal ini juga didukung oeh tingginya harga minyak mentah dunia dimana pada saat itu disebut-sebut sebagai masa keemasan minyak.
c)      Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali (managed floating exchange rate)
Sistem nilai tukar mata uang ini diterapkan sejak November 1978-Agustus 1997. Pada masa ini, terjadi tiga kali devaluasi yaitu
c.1 sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali I (managed floating exchange rate I) periode 1978-1986. Pada periode ini terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak terlalu besar yaitu berkisar antara Rp. 625,38 hingga Rp. 1.644,10.
c.2 sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali II (managed floating exchange rate II) periode1987-1992. Pada periode inirupiah mengalami devaluasi yaitu sekitar Rp. 1.644,10-Rp.2.053,40.
c.3 sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali dengan crawling band system (managed floating exchange rate with crawling band system) periode tahun 1992-1997. Pada periode ini floating semakin diperlakukan dalam kisaran yang lebih lebar yaitu sekita Rp. 2.053,40-Rp.2.791,30.
d)     Sistem nilai tukar mata uang mengambang bebas (free floating exchange rate) periode tahun 1998-sekarang.
Sistem ini diberlakukan sejak tahun 1998 hingga sekarang. Pada periode ini, intervensi BI di pasar valuta asing semata-mata hanya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang nilainya lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar.pada awal penerapannya, sistem nilai tukar rupiah berfluktuasi sangat cepat. Beberapa faktor penyebabnya adalah mulai dari aksi ambil untung (profit taking) oleh para pelaku pasar uang serta tingginya permintaan dollar AS oleh perusahaan domestik untuk membayar hutang-hutang luar negeri mereka yang telah jatuh tempo.

2.3  Kewajiban penggunaan rupiah
Setiap transaksi di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah. Setiap pihak yang melakukan transaksi di wilayah NKRI, baik orang perorangan maupun korporasi. Kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI berlaku untuk transaksi tunai dan nontunai. Transaksi tunai mencakup transaksi yang menggunakan uang kertas dan/atau uang logam sebagai alat pembayaran. Transaksi nontunai mencakup transaksi yang menggunakan alat dan mekanisme pembayaran secara nontunai.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Transaksi Valuta Asing dalam wilayah NKRI
Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing berfluktuasi dari waktu ke waktu. Terutama terhadap mata uang Negara yang banyak melakukan transaksi ekonomi dengan Indonesia. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lebih banyak disebabkan oleh kecenderungan para pengusaha dan pelaku ekonomi lainnya lebih banyak menggunakan mata uang asing dibanding mata uang Rupiah. Selain itu, fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah perbatasan ‎khususnya di berbagai garis terluar wilayah Indonesia dengan negara-negara tetangga masih terjadi, seperti penggunaan Ringgit di perbatasan Malaysia-Indonesia, Peso di perbatasan Filipina-Indonesia, Kina di perbatasan Papua New Guinea (PNG)-Indonesia, dan Atambua di perbatasan Indonesia - Timor leste.

Di Motaain, Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan wilayah Batu Gede, Timor Leste, penggunaan dolar AS yang merupakan mata uang Timor Leste, masih berlaku di toko-toko Indonesia di kawasan perbatasan. Padahal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah merupakan alat pembayaran yang sah sehingga wajib digunakan dalam kegiatan perekonomian di wilayah Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran  No.17/11/DKSP  tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Dalam UU tersebut, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah di wilayah NKRI dan menolak rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI akan dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

Pada Desember 2014, Bank Indonesia melakukan penelitian terkait penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI terutama di perbatasan. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa :
  a.       Di Atambua yang berbatasan dengan Timor leste, 53% masyarakatnya lebih suka menggunakan dollar AS. Penggunaan mata uang non rupiah tersebut digunakan untuk membayar tagihan listrik.
  b.      Masyarakat Batam yang wilayahnya berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, 95% menggunakan dollar Singapura dan Malaysia, 23% menggunakan ringgit dan 5% menggunakan dollar AS. Di Batam, penggunaan mata uang non rupiah tersebut mayoritas digunakan untuk keperluan berbelanja dan biaya transportasi.
    c.       Sementara di wilayah Entikong dan Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia, masyarakatnya banyak yang menggunakan ringgit Malaysia untuk transaksi sehari-hari seperti membayar sewa rumah dan juga untuk membayar biaya berobat di wilayah malaysia.
   d.      Sedangkan di perbatasan Skouw, Papua, transaksi hampir 90% menggunakan kina mata uang Papua Nugini. Bahkan mata uang Kina sering kosong di negerinya sendiri.

Banyaknya transaksi yang menggunakan mata uang asing bahkan terjadi dalam proses jual beli di perkotaan maupun banyak pelabuhan di Tanah Air. BI mencatat, secara nasional total transaksi antar penduduk dalam valuta asing berada pada tren yang meningkat dan mencapai US$ 73 miliar tahun 2014 atau 52% dari total permintaan valas penduduk. Hal ini juga memberikan dampak pada pelemahan nilai rupiah. Valuta asing yang terlalu banyak beredar mampu membuat nilai tukar rupiah anjlok.  Mata uang dolar AS yang digunakan untuk perdagangan internasional kerap menghantui peredaran rupiah. Hal tersebut akan melemahkan mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain terutama dollar AS. Berdasarkan berita yang terdapat di website detik finance pada bulan Juli 2014, penggunaan Dolar di Indonesia masih tergolong banyak. Dolar digunakan di berbagai tempat, seperti di Pelabuhan Tanjung Priok untuk pembayaran Container Handling Charge (CHC) dan Terminal Handling Charge (THC). Dolar juga digunakan dalam perdagangan batu bara, produk kimia, alat-alat berat, mesin tekstil, sewa-menyewa ruko di pusat perbelanjaan, ruang perkantoran, pembelian properti, dan pembayaran hotel. Hal ini terjadi di berbagai daerah perbatasan, seperti NTT, Kalimantan, Papua, dan Batam. Di wilayah Jakarta, salah satu lokasi yang masih menggunakan Dolar adalah Pasar baru Bandung, Glodok, Tanah Abang.

Terdapat faktor-faktor penyebab tingginya transaksi valas di wilayah NKRI, diantaranya sebagai berikut :
a)      Lemahnya pembangunan infrastuktur.
Susahnya transportasi dan keterbatasan infrastruktur bagi masyarakat untuk mencapai lembaga keuangan yang banyak terdapat di kota besar. Kemudian dampak yang terjadi karena lemahnya pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan adalah Masyarakat lebih memilih membeli barang di negara tetangga karena harga yang lebih murah. Warga perbatasan juga banyak yang menjual komoditas domestik kepada negara lain.
b)      Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat juga menjadi penyebab tingginya transaksi mata uang asing di NKRI. Hal ini dipengaruhi oleh persoalan kepraktisan dan netralitas dalam bertransaksi. Dalam beberapa kasus di wilayah perbatasan menggunakan mata uang asing lebih praktis daripada menggunakan rupiah. Misalnya yang terjadi di perbatsan NTT dengan Timor leste meskipun Indonesia surplus dalam hal pasokan barang namun mata uang dollar AS lebih laku daripada rupiah.
c)      Kurangnya edukasi terhadap masyarakat
Edukasi sangat penting dalam hal mentransfer sebuah kebijakan. Edukasi yang baik kepada masyarakat tentang UU mata uang di nilai masih belum menyentuh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Edukasi yang di lakukan oleh pemerintah dan BI hanya sebatas pada wilayah-wilayah yang dijangkau saja. Apabila hal ini tidak segera ditangani maka akan berdampak negatif terhadap pola perilaku masyarakat perbatasan. Edukasi juga dinilai sebagai langkah menumbuhkan sikap nasionalisme dalam memperlakukan rupiah layaknya sebagai simbol negara.
d)     Nilai tukar rupiah yang rendah.
Nilai tukar rupiah yang rendah juga menjadi penyebab maraknya transaksi non rupiah di daerah perbatasan. Selain nilainya rendah daripada mata uang negara lain, juga dipengaruhi karena nominalnya yang sangat besar sehingga tidak praktis.
e)      Lemahnya penegakan hukum
Dalam UU tentang Mata uang, sudah jelas bahwa rupiah adalah mata uang Indonesia. Oleh karena itu segala transaksi yang dilakukan dalam negeri harus menggunakan rupiah. Namun yang terjadi dimasyarakat tak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU tersebut. Hal ini memicu masyarakat untuk melakukan transaksi non rupiah khususnya didaerah perbatasan.
f)       Inflasi
Akibat inflasi, terjadi devaluasi secara terus menerus, penduduk suatu negara tidak lagi mempercayakan mata uang domestik sebagai suatu nilai tukar yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, masyarakat tidak mau melakukan pinjaman dengan mata uang domestik dan membuat kontrak tentang segala hal dalam dollar karena nilainya dirasa lebih stabil dan mereka tidak yakin bagaimana nilai mata uang domestik kedepannya. Ketika inflasi, juga lebih gampang untuk menentukan harga suatu barang dengan menggunakan dollar contohnya daripada mata uang domestik dari pada harga tersebut harus diganti setiap kali terjadi inflasi di negara tersebut.
g)      Kegiatan expor dan impor
Tingginya transaksi mata uang asing di daerah perbatasan juga dipengaruhi oleh kegiatan export dan import. Dominasi barang impor yang dijual pedagang negara tetangga adalah kebutuhan barang-barang pokok seperti yang terjadi di daerah perbatasan Entilog, Kalimantan. Barang-barang tersebut dipasok dari Malaysia dan beberapa penjualnya juga berasal dari malaysia, sehingga hal ini menimbulkan pembayaran dalam bentuk mata uang ringgit.

3.2  Peran Bank Indonesia dan Rupiah dalam Menjaga Kedaulatan Wilayah NKRI
Rupiah merupakan mata uang Indonesia. Fungsinya bukan hanya sebagai alat tukar semata. Rupiah juga sudah menjadi simbol kedaulatan negara Indonesia. Bisa dibilang, mata uang Indonesia setara dengan bendera merah putih maupun lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Artinya, di mana pun rupiah berpijak, di situ pula Indonesia dijunjung. Meskipun demikian, faktanya rupiah belum menjadi lambang negara seutuhnya. Keberadaan mata uang Indonesia ini terkadang kalah pamor dengan ringgit, mata uang negeri jiran Malaysia dan mata uang asing lainnya. Pada sejumlah daerah perbatasan, seperti di Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara, masih kerap terdengar kisah mata uang tetangga lebih banyak digunakan daripada rupiah. Padahal, para penggunanya tak lain dan tak bukan merupakan warga negara Indonesia. Mereka lebih memilih mata uang asing sebagai alat transaksi. Keberadaan mata uang tetangga yang lebih banyak digunakan di Indonesia jelas menjadi persoalan besar. Peredaran mata uang di suatu daerah, khususnya di perbatasan, bisa menunjukkan apakah daerah tersebut masuk ke dalam kawasan Indonesia atau negara tetangga. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan daerah tersebut bisa diakuisisi negara tetangga sesuai syarat defacto.
Selain aspek ekonomi terkait tercapainya kestabilan nilai tukar rupiah, penggunaan rupiah juga didasari pula pada dimensi hukum dan kebangsaan. Kewajiban Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing berfluktuasi dari waktu ke waktu. Terutama terhadap mata uang Negara yang banyak melakukan transaksi ekonomi dengan Indonesia. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lebih banyak disebabkan oleh kecenderungan para pengusaha dan pelaku ekonomi internasional lainnya lebih banyak menggunakan mata uang asing dibanding mata uang Rupiah. Dalam Undang-Undang No. 7/2011 tentang Mata Uang telah mewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi keuangan. Dalam UU tersebut membahas mengenai : kewajiban penggunaan Rupiah, pengecualian kewajiban penggunaan Rupiah, larangan menolak Rupiah, pencantuman harga barang dan jasa, sanksi dan laporan pengawasan kepatuhan dan penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) dalam perekonomian nasional.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga telah mengeluarkan regulasi Ketentuan PBI No. 17/3/PBI/2015 mengenai kewajiban penggunaan rupiah memiliki landasan hukum yaitu UU mata uang no. 7/2011, UU kawasan ekonomi khusus, serta peraturan menteri perdagangan tentang pencantuman harga barang dan tarif rupiah. Dari sudut pandang kebangsaan, rupiah sebagai alat pembayaran negara yang sah merupakan simbol kedaulatan NKRI serta menjadi identitas bangsa layaknya lagu Indonesia raya dan bendera merah putih. Bahkan dalam pidato kenegaraan presiden Jokowi dihadapan anggota DPR pada 14 agustus 2015 menekankan pentingnya menjaga kedaulatan dengan selalu mengunakan rupiah. Lepasnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan dari wilayah NKRI merupakan salah satu contoh akibat minimnya transaksi dan aktivitas ekonomi yang menggunakan rupiah.
3.3  Kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah terhadap tingginya Penggunan Mata Uang Asing khususnya di Wilayah Perbatasan NKRI
Di tengah tekanan maraknya penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI khususnya di wilayah perbatasan dalam melakukan transaksi ekonomi, Bank Indonesia  sebagai otoritas moneter telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17/3/PBI/2015 yang ditetapkan pada tanggal 1 juli 2015 mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penerapan PBI ini sebagai implementasi UU Mata Uang 2011 diharapkan mampu mengurangi, bahkan menghilangkan transaksi dalam valuta asing yang tidak sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan PBI ini, setiap transaksi serta pencantuman harga di wilayah NKRI harus menggunakan rupiah. Namun, tingginya transaksi domestik dalam dollar AS memberi pengaruh yang sangat signifikan seperti banyaknya transaksi dollar AS yang sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan rupiah misalnya agen perjalanan wisata menawarkan harga dalam mata uang asing, penjual barang elektronik yang mencantumkan harganya dalam dollar AS, transaksi minyak, gas, properti, pelayaran, dan penerbangan.

Beberapa hal yang telah dilakukan BI dalam mengimplementasikan peraturan tersebut agar menyebar secara merata yaitu:
   a) BI telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyelaraskan  peraturan terkait PBI.
   b) BI membuka sarana komunikasi melalui instrumen contact center BICARA 131.
  c) Melakukan edukasi dan sosialiasi, baik kepada otoritas, pelaku usaha serta masyarakat luas khususnya pada masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan mengenai pentingnya penerapan PBI kewajiban penggunaan rupiah. Salah satu contoh yang dilakukan oleh BI adalah BI goes to campus sebagai ajang  sosialisasi dan implementasi kebijakan.
  d) BI juga menyelenggarakan konsultasi kolektif untuk melayani permintaan informasi dan pertanyaan dari stakeholders setiap selasa dan kamis pukul 09.00 WIB dan 13.30 WIB
  e) Mengadakan sosialisasi kepada asosiasi perbankan dan seluruh bank yang ada serta kepada seluruh jajaran kementerian.
 f) Menandatangani nota kesepahaman terkait PBI kewajiban penggunaan rupiah dengan pelaku usaha, diantaranya Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO) dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
  g) BI dan POLRI juga telah menandatangani nota kesepahaman untuk penanganan tindak pidana di bidang sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing.

Berdasarkan kebijakan PBI tersebut terdapat beberapa transaksi yang dikecualikan untuk melakukan transaksi dalam bentuk mata uang asing seperti :
1)  Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan APBN, meliputi :  
a.     Pembayaran utang luar negeri;
b.     pembayaran utang dalam negeri dalam valuta asing;
c.     belanja barang dari luar negeri;
d.     belanja modal dari luar negeri;
e.    penerimaan negara yang berasal dari penjualan surat utang negara dalam valuta asing;
2)      Transaksi lainnya yang diatur dalam peraturanperundang-undangan.  Penerimaan atau pemberian hibah dari atauke luar negeri asing adalah hibah yang dilakukan oleh penerima atau pemberi hibah yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. Apabila penerima dan pemberi hibah berkedudukan di wilayah NKRI maka hibah harus dilakukan dengan menggunakan Rupiah.
3)      Transaksi perdagangan internasional, meliputi :
a. kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia; dan/atau
b.  kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara yang  dilakukan dengan cara:  1) pasokan lintas batas (cross border supply), yaitu penyediaan jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah negara lain seperti pembelian secara online (dalam jaringan) atau call center; dan 2) konsumsi di luar negeri (consumption abroad), yaitu “kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara dalam bentuk konsumsi di luar negeri (consumption abroad)” adalah kegiatan penyediaan jasa di luar negeri untuk melayani konsumen dari Indonesia seperti warga negara Indonesia yang kuliah di luar negeri atau rawat di rumah sakit luar negeri.  Adapun transaksi untuk kegiatan tambahan dalam kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia tidak dikategorikan sebagai transaksi perdagangan internasional sehingga wajib menggunakan Rupiah, antara lain meliputi : sandar kapal di pelabuhan, bongkar muat kontainer, penyimpanan sementara kontainer di pelabuhan, dan parkir pesawat di bandara.
4)     Simpanan di  Bank  dalam bentuk valuta  asing. 
Simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing hanya dapat diselenggarakan oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. Transaksi terkait simpanan di Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dapat berupa penyetoran dan/atau penarikan valuta asing.
5)     Transaksi pembiayaan internasional. 
Transaksi pembiayaan internasional yang diperbolehkan menggunakan valuta asing adalah transaksi pembiayaan yang dilakukan oleh penerima dan pemberi pembiayaan yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. Dalam hal pemberi pembiayaan internasional berupa Bank maka wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak asing.
6)   Kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank berdasarkan UndangUndang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah, meliputi: a. kredit dalam valuta asing untuk kegiatan ekspor dan kegiatan lainnya; b. pasar uang antar Bank dalam valuta asing; c. obligasi dalam valuta asing; d. sub debt dalam valuta asing; e. jual beli surat berharga dalam valuta asing; dan f. transaksi perbankan lainnya dalam valuta asing yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah beserta peraturan pelaksanaannya.
7)   Transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah Negara.
8) Transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang.  Undang-Undang yang mengatur mengenai transaksi lainnya dalam valuta asing antara lain Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, Undang-Undang mengenai penanaman modal, dan Undang-Undang mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
Sedangkan larangan penggunaan transaksi dalam bentuk valuta asing yaitu sebagai berikut :
a)    Jual beli barang dalam negeri
b)   Pencantuman harga (kuotasi) dalam rupiah dan valas atau     biasa dikenal dengan dual quotation.
c)    Label harga barang dan menu restoran
d)    Sewa menyewa lahan dan properti
e)    Biaya jasa (jasa konsultan, kepariwisataan, dan lain-lain)
f)    Tarif bongkar muat peti kemas, kargo, dan tiket pesawat.
g) Kontrak (klausul harga, biaya dalam kontrak atau perjanjian)
h) Dokumen penawaran, pemesanan, tagihan, dan bukti pembayaran.


Bab IV
Simpulan
4.1 Penutup
NKRI sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Rupiah sebagai mata uang yang dikeluarkan oleh NKRI. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI diperlukan untuk mendukung kestabilan nilai tukar Rupiah.   Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI juga dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai mata uang yang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di wilayah NKRI. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI perlu tetap memperhatikan adanya kebutuhan penggunaan valuta asing dalam masyarakat yang diperkenankan berdasarkan Undang-Undang.  Penerapan kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI dilakukan dengan memperhatikan kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

4.2 Saran

Melihat problematika marak dan tingginya kegiatan transaksi non rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) khususnya di daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain, maka penulis menyarankan agar kegiatan edukasi dan sosialisasi harus terus dilakukan hingga mencapai masyarakat perbatasan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan sikap nasionalisme dalam menjaga kedaulatan rupiah di negeri sendiri. Dari segi hukum, diharapkan agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat menegakkan hukum perundang-undangan khususnya yang menyangkut UU tentang mata uang. Tidak lupa juga penulis menyarankan agar pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan dapat diperhatikan secara serius. Pembangunan infrastruktur yang baik akan menunjang distribusi barang dan jasa hingga ke pelosok negeri sehingga kendala masyarakat dalam hal ketersediaan barang dan jasa yang memicu kegiatan transaksi keuangan non rupiah dapat diatasi.

Daftar pustaka

Gerai info BI edisi 52/2015


Majalah aktual edisi 45/2 – 16 desember 2015. Hlm.5

Undang-Undang No. 7/2011 Tentang mata  Uang

Yuliati. Sri Handaru, Handoyo Prasetyo,  (2005),  Dasar-Dasar Manajemen  Keuangan  Internasional,  Yogyakarta, Andi.

www.bi.go.id (diakses tanggal  26 september 2017)

www.detikfinance.com (diakses tanggal 26 september 2017)

Comments