Transaksi wajib rupiah
REGULASI BANK INDONESIA
“ WAJIB RUPIAH ”
“ WAJIB RUPIAH ”
Oleh : ADIYOAB L. U. KALEKA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas
hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan
terimakasih kepada dosen mata kuliah “Topik Kontemporer Perbankan” dan
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Surabaya, 29 September 2017
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Nilai tukar Rupiah yang stabil dan berdaulat
tentunya merupakan harapan kita semua. Meskipun demikian, tekanan pada nilai
tukar rupiah memberikan dampak yang luas terhadap perekonomian secara umum.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas (fee
floating exchange rate system), nilai tukar rupiah ditentukan oleh besarnya
permintaan dan penawaran. Sejak tahun 2011, kondisi di pasar valuta asing
(valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas terutama dollar AS
daripada pasokannya. Tingginya permintaan dollar AS tersebut didasari oleh
beberapa alasan antara lain untuk kebutuhan impor, pembayaran utang luar
negeri, dan penjualan barang dan jasa dalam satuan valuta asing khususnya di
wilayah perbatasan NKRI.
Kondisi global saat ini juga memberikan pengaruh
yang negatif terhadap rupiah. Rencana kenaikan suku bunga the fed telah
mengakibatkan dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia
termasuk rupiah. Di tahun 2015 jumlah transaksi valuta asing dalam negeri
mencapai 160 miliar dollar AS. Selain itu, rasio pembayaran utang luar negeri
swasta terhadap pendapatan ekspor (Debt
Service Ratio / DSR) juga meningkat dari sekitar 15% ditahun 2007 menjadi
54% ditahun 2015. Sehubungan dengan hal itu, pada 1 juli 2015, BI mengeluarkan
peraturan bank Indonesia mengenai kewajiban penggunaan rupiah. Pemberlakuan
regulasi ini sangat penting kaitannya dengan aktivitas ekonomi secara umum,
terutama transaksi di Indonesia.
Selain kedua faktor secara geoekonomi diatas, kita
juga harus melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing dalam
berbagai transasksi di wilayah NKRI. Dalam praktik sehari-hari masih banyak
masyarakat Indonesia yang tidak menggunakan rupiah dan cenderung memilih
menggunakan mata uang asing. Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang
dilakukan antar penduduk Indonesia jumlahnya mencapai angka 7,2 miliar dollar
AS atau sekitar Rp 78 triliun setiap bulan yang berarti dalam setahun bisa
mencapai Rp 936 triliun. Fenomena tingginya transaksi mata uang asing tersebut
bahkan telah merambah ke sektor ekonomi mulai dari sektor migas, pelabuhan,
tekstil, manufaktur hingga pelabuhan. Penggunaan mata uang asing di wilayah
NKRI tentu tidak bisa dipandang sebagai konsekuensi liberalisasi, namun dapat
dilihat sebagai bentuk ancaman (soft
invasion) terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara.
Sesungguhnya, UU Mata Uang telah mengatur rupaih
sebagai salah satu simbol kedaulatan negara. Berbagai peraturan yang ada juga
menjadi pondasi yang kuat terhadap kewajiban penggunaan rupiah di tanah air,
baik transaksi tunai maupun non tunai. Namun, kecenderungan penggunaan mata
uang asing dalam hal ini dollar AS dalam transaksi telah meluas dan menjadi
praktik keseharian pada beberapa aktivitas ekonomi. Maraknya penggunaan mata
uang asing turut memberi tekanan pada nilai rupiah. Latar belakang tentang
terbitnya PBI tentang kewajiban penggunaan rupiah tidak hanya didasari pada
dimensi ekonomi, namun juga pada dimensi hukum dan kebangsaan.
Pengalaman beberapa negara di Amerika latin, karibia
dan pasifik, membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing
di dalam negeri pada akhirnya akan memperlemah perekonomian nasional dan
menimbulkan ketidakpastian. Bahkan Indonesia juga memiliki pengalaman pahit
seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang
muncul pada waktu itu adalah karena Rupiah tidak lagi digunakan untuk
bertransaksi disana. Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak kita inginkan
tersebut, maka kita sebagai masyarakat perlu mendukung penggunaan mata uang
rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI. Pemerintah juga telah mengeluarkan
UU mata uang No. 7 tahun 2011 dan selanjutnya Bank Indonesia juga menerbitkan
peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan Rupiah
di wilayah NKRI.
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana
dampak transaksi valuta asing dalam negeri terhadap nilai tukar rupiah?
b. Bagaimana
peran Bank Indonesia dan mata uang rupiah dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI
c. Bagaimana
kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap tingginya transaksi mata uang
asing dalam negeri khususnya di wilayah perbatasan NKRI.
1.3 Tujuan penulisan
a. Untuk
mengetahui dampak dan akibat dari adanya transaksi valuta asing dalam negeri
terhadap nilai tukar rupiah dengan mata uang asing.
b. Untuk
mengetahui peran dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan rupiah sebagai mata uang Indonesia dalam
menjaga kedaulatan wilayah NKRI.
c. Untuk
mengetahui paket kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menekan
maraknya transaksi mata uang asing didalam negeri khususnya di wilayah
perbatasan NKRI.
1.4 Manfaat penulisan
a. Bagi
penulis
Untuk memenuhi tugas
presentasi mata kuliah Topik kontemporer perbankan.
b. Bagi
pembaca
1).Diharapkan
dapat menambah khazanah pengetahuan mengenai peran Rupiah dalam menjaga
kedaulatan NKRI.
2).Diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam membahas secara mendalam mengenai
dampak penggunaan valuta asing terhadap nilai tukar rupiah dengan mata uang
negara asing (dollar AS).
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Valuta asing
Valuta asing (valas) adalah mata uang yang dapat digunakan
atau mudah diterima oleh banyak negara dalam perdagangan internasional. Menurut
hamdy Hadi (1997 : 15), valuta asing merupakan sebuah mata uang asing yang
dipakai sebagai alat pembayaran untuk membiayai transaksi ekonomi keuangan
internasioal serta memiliki catatan kurs resmi pada bank sentral. Menurut
survei BIS (Bank International for
Settlement, bank sentral dunia), yang telah dilakukan pada akhir tahun
2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4 triliun
per harinya. Menurut Jose Rizal Joesoef (2008:4), valuta asing adalah mata uang asing
atau alat pembayaran luar negeri.
Valuta asing
bagi setiap negara saat ini memiliki peran yang cukup besar dalam melakukan
hubungan dengan luar negeri, terutama hubungan dagang atau perdagangan
internasional. Adapun fungsi dari valuta asing antara lain dapat dipergunakan
sebagai:
a) Alat Tukar Internasional : Valuta
asing dapat dipergunakan sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar
barang atau jasa dengan negara lain.
b) Alat Pembayaran
Internasional : Jika pemerintah mempunyai utang dari negara lain maka
pembayaran cicilan utang dan bunganya harus dilakukan dengan valuta
asing.
c) Alat Pengendali Kurs : Kurs sendiri
dapat diartikan sebagai perbandingan nilai mata uang suatu negara terhadap mata
uang negara lain, dimana kurs mata uang suatu negara bisa menguat ataupun
melemah.Valuta asing dapat digunakan sebagai dapat alat untuk mengendalikan
kurs/nilai rupiah terhadap mata uang asing.
d) Alat Memperlancar
Perdagangan Internasional : Adanya valuta asing akan mempermudah
dan memperlancar suatu negara dalam mengadakan perdagangan dengan negara lain.
Valuta asing berfungsi sebagai alat tukar atau mempermudah perdagangan
internasional.
Perubahan permintaan dan penawaran
suatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta,
disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno,
2004:402).
a).Perubahan dalam cita rasa masyarakat.
b).Perubahan harga barang ekspor dan impor.
c).Kenaikan harga umum (inflasi).
d).Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.
e).Pertumbuhan ekonomi.
2.2 Nilai tukar (kurs)
Stabilitas nilai tukar
merupakan prasyarat mutlak bagi kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. Bagi
indonesia, stabilitas nilai tukar rupiah merupakan hal yang sangat penting
karena berdasarkan sejarah krisis moneter dan keruntuhan ekonomi di Indonesia
yang dimulai Juli 1997 berawal dari fluktuasi nilai rupiah yang tidak
terkontrol. UU No.23 tahun 1999 pasal 7 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa
secara tegas mengenai hal ini bahwa tujuan BI adalah memelihara stabilitas
nilai tukar rupiah.
Menurut Musdholifah & Tony
(2007), nilai tukar atau kurs adalah perbandingan antara harga mata uang suatu
negara dengan mata uang negara lain. Misal kurs rupiah terhadap dollar Amerika
menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan untuk ditukarkan dengan satu dollar
Amerika.
Menurut Triyono (2008), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang
yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata
uang tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan nilai tukar
rupiah adalah suatu perbandingan antara nilai mata uang suatu negara dengan
negara lain. Heru (2008) menyatakan bahwa nilai tukar mencerminkan keseimbangan
permintaan dan penawaran terhadap mata uang dalam negeri maupun mata uang
asing. Merosotnya nilai tukar rupiah merefleksikan menurunnya permintaan
masyarakat terhadap mata uang rupiah karena menurunnya peran perekonomian
nasional atau karena meningkatnya permintaan mata uang asing sebagai alat
pembayaran internasional. Semakin menguatnya kurs rupiah sampai batas tertentu
berarti menggambarkan kinerja di pasar uang menunjukkan perbaikan. Nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing pun mempunyai pengaruh negatif terhadap ekonomi
secara umum.
Perubahan
geoekonomi dan geopolitik yang terjadi disuatu negara, juga akan mengakibatkan
perubahan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap nilai tukar mata uang
negara lain secara substansial. Dalam
hal ini kenaikan atau penurunan nilai tukar karena adanya intervensi
pemerintah, seperti kebijakan bank sentral dalam menjaga nilai tukar mata uang
negara tersebut.
Secara
ekonomi, nilai tukar mata uang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
(Mnakyw,2007)
a).Nilai
tukar mata uang nominal
Nilai tukar mata uang nominal merupakan perbandingan
harga relatif dari mata uang antara dua negara.
b).Nilai
tukar mata uang rill
Nilai tukar mata uang rill adalah
perbandingan harga relatif barang yang terdapat di dua negara. Dengan kata ain,
nilai tukar mata uang rill menyatakan tingkat harga dimana kita bisa
memperdagangkan barang dari suatu negara dengan negara lain. Dengan demikian,
nilai tukar mata uang rill bergantung pada tingkat harga barang dalam mata uang
domestik serta nilai mata uang domestik tersebut terhadap mata uang asing.
Apabila nilai tukar mata uang rill dari mata uang domestik tinggi, maka harga
barang-barang di luar negeri relatif lebih murah dan harga barang-barang
didalam negeri relatif lebih mahal. Sebaliknya jika nilai tukar mata uang rill
dari mata uang domestik rendah, maka harga barang-barang di luar negeri relatif
lebih mahal dan harga barang-barang didalam negeri relatif lebih murah.
Konsep-konsep yang
berkaitan dengan sistem nilai tukar atau rezim niali tukar mata uang (exchange rate regime) mulai mendapat
perhatian besar dari para ahli ekonomi sejak akhir periode Bretton Woods pada
tahun 1971 serta setelah terjadinya serangkaian krisis nilai tukar mata uang di
beberapa negara baik di negra maju maupun di negara berkembang. Hal ini
kemudian memunculkan konsep impossible
trinity yang menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat mencapai tiga
sasaran moneter, yaitu stabilitas nilai tukar (exchange rate stability), independensi kebijakan moneter (monetary independence), dan integrasi
kepada pasar keuangan dunia (full
financial integration). Oleh karena itu, suatu negara harus menentukan
sistem dan kebijakan niali tukarmata uangnya yang sesuai untuk dapat mencapai
sasaran kebijakan moneter yang dipilihnya.
Berdasarkan kebijakan
tingkat pengendalian nilai tukar mata uang yang diterapkan suatu negara, sistem
nilai tukar mata uang secara umum dapat digolongkan menjadi empat kategori,
yaitu (Madura, 2008)
a) Sistem
nilai tukar uang tetap (fixed exchange
rate system)
Dalam sistem nilai
tukar tetap, niali tukar mata uang akan diatur oleh otoritas moneter untuk
selalu konstan atau dapat berfluktuasi namun hanya dalam suatu batas yang
kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otoritas moneter memelihara nilai
tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing pada nilai tertentu dengan cara
membeli atau menjual mata uang asing untuk mata uang domestik pada harga yang
tetap.
b) Sistem
nilai tukar mata uang mengambang bebas (free
floating exchange rate system)
Dalam sistem nilai
tukar mata uang mengambang bebas, nilai tukar mata uang ditentukan oleh
mekanisme pasar tanpa intervensi dari pemerintah sehingga nilainya bersifat
fleksibel. Dalam sistem ini, otoritas moneter diberikan keleluasaan untuk
menerapkan kebijakan moneter secara independen tanpa harus memelihara nilai
tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing pada nilai tertentu. Dengan
sistem seperti ini, negara akan terhindar dari inflasi terhadap negara lain
serta masalah-masalah ekonomi yang dialami suatu negara lain tidak akan mudah
menyebar kenegara lain. Selain itu, otoritas moneter hanya fokus pada
kebijakan-kebijakan moneter yang membawa dampak positif pada perekonomian.
Namun dengan sistem nilai tukar seperti ini, nilai tukar mata uang akan selalu
berfluktuasi sesuai dengan mekanisme pasar sehingga terdapat ketidakpastian nilai
tukar yang dihadapi oleh dunia usaha.
c) Sistem
nilai tukar mata uang mengambang terkendali (managed float exchange rate system)
Sistem nilai tukar mata
uang mengambang terkendali merupakan perpaduan antara sistem nilai tukar mata
uang tetap dan nilai tukar mata uang mengambang bebas. Dalam sistem ini, nilai
tukar mata uang dibiarkan berfluktuasi setiap waktu tanpa ada batasan nilai
yang ditetapkan. Namun, karena nilai tukar mata uang dollar AS yang cenderung
stabil, maka nilai tukar mata nilai tukar mata uang domestik pun cenderung
stabil terhadap mata uang asing lainnya.
d) Sistem
nilai tukar mata uang terikat (pegged
exchange rate system)
Nilai tukar mata uang
domestik dikaitkan atau ditetapkan terhadap satu atau beberapa mata uang asing,
biasanya dengan mata uang asing cenderung stabil, misalnya dollar AS. Dengan
demikian nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing selain dollar
AS akan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi nilai tukar dollar AS yang
cenderung stabil, maka nilai tukar mata uang domestik pun cenderung stabil
terhadap mata uang asing lainnya.
Di
Indonesia, sejak tahun 1996 hingga sekarang telah diterapkan empat sistem niali
tukar mata uang yang berbeda yang terbagi menjadi beberapa periode waktu. Bank
Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia menetapkan sistem nilai tukar
mata uang berdasarkan berbagai pertimbangan khususnya yang berkaitan dengan
kondisi ekonomi saati itu. Perry dan Solikin (2003) memapasrkan sistem nilai
tukar mata uang yang berlaku di Indonesia:
a) Sistem
nilai tukar mata uang berganda (multiple exchange rate system)
Sistem nilai tukar ini diterapkan sejak
oktober 1996 sampai juli 1971. Penggunaan sistem ini dimaksudkan untuk
menghadpi fluktuasi nilai rupiah serta untuk mempertahankan dan meningkatkan
daya saing yang hilang karena danya inflasi dua digit selama periode tersebut.
b) Sistem
nilai tukar mata uang tetap (fixed exchange rate)
Sistem nilai tukar mata uang ini berlaku
sejak agustus 1971 sampai oktober 1978. Dengan sistem ini nilai rupiah
ditetapkan dalam suatu nilai tetap terhadap dollar AS, yaitu US$1=Rp. 415,00.
Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh kuatnya neraca pembayaran dalam kurun
waktu tersebut karena disebabkan oleh besarnya penerimaan dari sektor migas
yang meningkatkan cadangan devisa. Hal ini juga didukung oeh tingginya harga
minyak mentah dunia dimana pada saat itu disebut-sebut sebagai masa keemasan
minyak.
c) Sistem
nilai tukar mata uang mengambang terkendali (managed floating exchange rate)
Sistem nilai tukar mata uang ini
diterapkan sejak November 1978-Agustus 1997. Pada masa ini, terjadi tiga kali
devaluasi yaitu
c.1 sistem nilai tukar mata uang
mengambang terkendali I (managed floating exchange rate I) periode 1978-1986.
Pada periode ini terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak terlalu
besar yaitu berkisar antara Rp. 625,38 hingga Rp. 1.644,10.
c.2 sistem nilai tukar mata uang
mengambang terkendali II (managed floating exchange rate II) periode1987-1992.
Pada periode inirupiah mengalami devaluasi yaitu sekitar Rp.
1.644,10-Rp.2.053,40.
c.3 sistem nilai tukar mata uang
mengambang terkendali dengan crawling band system (managed floating exchange
rate with crawling band system) periode tahun 1992-1997. Pada periode ini
floating semakin diperlakukan dalam kisaran yang lebih lebar yaitu sekita Rp.
2.053,40-Rp.2.791,30.
d) Sistem
nilai tukar mata uang mengambang bebas (free floating exchange rate) periode
tahun 1998-sekarang.
Sistem ini diberlakukan sejak tahun 1998
hingga sekarang. Pada periode ini, intervensi BI di pasar valuta asing semata-mata
hanya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang nilainya lebih banyak
ditentukan oleh mekanisme pasar.pada awal penerapannya, sistem nilai tukar
rupiah berfluktuasi sangat cepat. Beberapa faktor penyebabnya adalah mulai dari
aksi ambil untung (profit taking) oleh para pelaku pasar uang serta tingginya
permintaan dollar AS oleh perusahaan domestik untuk membayar hutang-hutang luar
negeri mereka yang telah jatuh tempo.
2.3 Kewajiban penggunaan rupiah
Setiap
transaksi di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah. Setiap pihak yang melakukan
transaksi di wilayah NKRI, baik orang perorangan maupun korporasi. Kewajiban
penggunaan Rupiah di wilayah NKRI berlaku untuk transaksi tunai dan nontunai.
Transaksi tunai mencakup transaksi yang menggunakan uang kertas dan/atau uang
logam sebagai alat pembayaran. Transaksi nontunai mencakup transaksi yang
menggunakan alat dan mekanisme pembayaran secara nontunai.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Transaksi Valuta Asing dalam wilayah
NKRI
Nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing berfluktuasi dari waktu ke waktu. Terutama
terhadap mata uang Negara yang banyak melakukan transaksi ekonomi dengan
Indonesia. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lebih banyak
disebabkan oleh kecenderungan para pengusaha dan pelaku ekonomi lainnya lebih
banyak menggunakan mata uang asing dibanding mata uang Rupiah. Selain itu, fenomena
penggunaan mata uang asing di wilayah perbatasan khususnya di berbagai garis
terluar wilayah Indonesia dengan negara-negara tetangga masih terjadi, seperti
penggunaan Ringgit di perbatasan Malaysia-Indonesia, Peso di perbatasan
Filipina-Indonesia, Kina di perbatasan Papua New Guinea (PNG)-Indonesia,
dan Atambua di perbatasan Indonesia - Timor leste.
Di Motaain, Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan wilayah Batu Gede, Timor Leste, penggunaan dolar AS yang merupakan mata uang Timor Leste, masih berlaku di toko-toko Indonesia di kawasan perbatasan. Padahal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah merupakan alat pembayaran yang sah sehingga wajib digunakan dalam kegiatan perekonomian di wilayah Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam UU tersebut, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah di wilayah NKRI dan menolak rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI akan dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Pada Desember 2014, Bank Indonesia melakukan penelitian terkait penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI terutama di perbatasan. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa :
a.
Di Atambua yang berbatasan dengan Timor
leste, 53% masyarakatnya lebih suka menggunakan dollar AS. Penggunaan mata uang
non rupiah tersebut digunakan untuk membayar tagihan listrik.
b.
Masyarakat Batam yang wilayahnya
berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, 95% menggunakan dollar Singapura dan
Malaysia, 23% menggunakan ringgit dan 5% menggunakan dollar AS. Di Batam,
penggunaan mata uang non rupiah tersebut mayoritas digunakan untuk keperluan
berbelanja dan biaya transportasi.
c.
Sementara di wilayah Entikong dan
Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia, masyarakatnya banyak yang menggunakan
ringgit Malaysia untuk transaksi sehari-hari seperti membayar sewa rumah dan
juga untuk membayar biaya berobat di wilayah malaysia.
d.
Sedangkan di perbatasan Skouw, Papua, transaksi
hampir 90% menggunakan kina mata uang Papua Nugini. Bahkan mata uang Kina
sering kosong di negerinya sendiri.
Banyaknya transaksi yang menggunakan mata uang asing bahkan terjadi dalam proses jual beli di perkotaan maupun banyak pelabuhan di Tanah Air. BI mencatat, secara nasional total transaksi antar penduduk dalam valuta asing berada pada tren yang meningkat dan mencapai US$ 73 miliar tahun 2014 atau 52% dari total permintaan valas penduduk. Hal ini juga memberikan dampak pada pelemahan nilai rupiah. Valuta asing yang terlalu banyak beredar mampu membuat nilai tukar rupiah anjlok. Mata uang dolar AS yang digunakan untuk perdagangan internasional kerap menghantui peredaran rupiah. Hal tersebut akan melemahkan mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain terutama dollar AS. Berdasarkan berita yang terdapat di website detik finance pada bulan Juli 2014, penggunaan Dolar di Indonesia masih tergolong banyak. Dolar digunakan di berbagai tempat, seperti di Pelabuhan Tanjung Priok untuk pembayaran Container Handling Charge (CHC) dan Terminal Handling Charge (THC). Dolar juga digunakan dalam perdagangan batu bara, produk kimia, alat-alat berat, mesin tekstil, sewa-menyewa ruko di pusat perbelanjaan, ruang perkantoran, pembelian properti, dan pembayaran hotel. Hal ini terjadi di berbagai daerah perbatasan, seperti NTT, Kalimantan, Papua, dan Batam. Di wilayah Jakarta, salah satu lokasi yang masih menggunakan Dolar adalah Pasar baru Bandung, Glodok, Tanah Abang.
Terdapat
faktor-faktor penyebab tingginya transaksi valas di wilayah NKRI, diantaranya
sebagai berikut :
a)
Lemahnya pembangunan infrastuktur.
Susahnya transportasi
dan keterbatasan infrastruktur bagi masyarakat untuk mencapai lembaga keuangan
yang banyak terdapat di kota besar. Kemudian
dampak yang terjadi karena lemahnya pembangunan infrastruktur di daerah
perbatasan adalah Masyarakat lebih memilih membeli barang di negara tetangga
karena harga yang lebih murah. Warga
perbatasan juga banyak yang menjual komoditas domestik kepada negara lain.
b)
Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat juga menjadi
penyebab tingginya transaksi mata uang asing di NKRI. Hal ini dipengaruhi oleh
persoalan kepraktisan dan netralitas dalam bertransaksi. Dalam beberapa kasus
di wilayah perbatasan menggunakan mata uang asing lebih praktis daripada
menggunakan rupiah. Misalnya yang terjadi di perbatsan NTT dengan Timor leste
meskipun Indonesia surplus dalam hal pasokan barang namun mata uang dollar AS
lebih laku daripada rupiah.
c)
Kurangnya edukasi terhadap masyarakat
Edukasi sangat penting dalam hal mentransfer sebuah
kebijakan. Edukasi yang baik kepada masyarakat tentang UU mata uang di nilai
masih belum menyentuh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Edukasi
yang di lakukan oleh pemerintah dan BI hanya sebatas pada wilayah-wilayah yang
dijangkau saja. Apabila hal ini tidak segera ditangani maka akan berdampak
negatif terhadap pola perilaku masyarakat perbatasan. Edukasi juga dinilai
sebagai langkah menumbuhkan sikap nasionalisme dalam memperlakukan rupiah
layaknya sebagai simbol negara.
d)
Nilai tukar rupiah yang rendah.
Nilai tukar rupiah yang rendah juga
menjadi penyebab maraknya transaksi non rupiah di daerah perbatasan. Selain
nilainya rendah daripada mata uang negara lain, juga dipengaruhi karena
nominalnya yang sangat besar sehingga tidak praktis.
e)
Lemahnya penegakan hukum
Dalam UU tentang Mata uang, sudah
jelas bahwa rupiah adalah mata uang Indonesia. Oleh karena itu segala transaksi
yang dilakukan dalam negeri harus menggunakan rupiah. Namun yang terjadi
dimasyarakat tak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU tersebut. Hal ini
memicu masyarakat untuk melakukan transaksi non rupiah khususnya didaerah
perbatasan.
f)
Inflasi
Akibat inflasi, terjadi devaluasi secara terus
menerus, penduduk suatu negara tidak lagi mempercayakan mata uang domestik
sebagai suatu nilai tukar yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, masyarakat
tidak mau melakukan pinjaman dengan mata uang domestik dan membuat kontrak
tentang segala hal dalam dollar karena nilainya dirasa lebih stabil dan mereka tidak
yakin bagaimana nilai mata uang domestik kedepannya. Ketika inflasi, juga lebih
gampang untuk menentukan harga suatu barang dengan menggunakan dollar contohnya
daripada mata uang domestik dari pada harga tersebut harus diganti setiap kali
terjadi inflasi di negara tersebut.
g)
Kegiatan expor dan impor
Tingginya transaksi mata uang asing
di daerah perbatasan juga dipengaruhi oleh kegiatan export dan import. Dominasi
barang impor yang dijual pedagang negara tetangga adalah kebutuhan
barang-barang pokok seperti yang terjadi di daerah perbatasan Entilog,
Kalimantan. Barang-barang tersebut dipasok dari Malaysia dan beberapa
penjualnya juga berasal dari malaysia, sehingga hal ini menimbulkan pembayaran
dalam bentuk mata uang ringgit.
3.2 Peran Bank Indonesia dan Rupiah
dalam Menjaga Kedaulatan Wilayah NKRI
Rupiah merupakan
mata uang Indonesia. Fungsinya bukan hanya sebagai alat tukar semata. Rupiah
juga sudah menjadi simbol kedaulatan negara Indonesia. Bisa dibilang, mata
uang Indonesia setara dengan bendera merah putih maupun lagu kebangsaan
"Indonesia Raya". Artinya, di mana pun rupiah berpijak, di
situ pula Indonesia dijunjung. Meskipun demikian, faktanya rupiah belum menjadi
lambang negara seutuhnya. Keberadaan mata uang Indonesia ini terkadang kalah
pamor dengan ringgit, mata uang negeri jiran Malaysia
dan mata uang asing lainnya. Pada sejumlah daerah
perbatasan, seperti di Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara, masih kerap
terdengar kisah mata uang tetangga lebih banyak digunakan daripada
rupiah. Padahal, para penggunanya tak lain dan tak bukan merupakan
warga negara Indonesia. Mereka lebih memilih mata uang asing sebagai alat transaksi.
Keberadaan mata uang tetangga yang lebih banyak digunakan di Indonesia jelas
menjadi persoalan besar. Peredaran mata uang di suatu daerah, khususnya di
perbatasan, bisa menunjukkan apakah daerah tersebut masuk ke
dalam kawasan
Indonesia atau negara tetangga. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan daerah
tersebut bisa diakuisisi negara tetangga sesuai syarat defacto.
Selain
aspek ekonomi terkait tercapainya kestabilan nilai tukar rupiah, penggunaan
rupiah juga didasari pula pada dimensi hukum dan kebangsaan. Kewajiban Nilai
tukar Rupiah terhadap mata uang asing berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Terutama terhadap mata uang Negara yang banyak melakukan transaksi ekonomi
dengan Indonesia. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing lebih
banyak disebabkan oleh kecenderungan para pengusaha dan pelaku ekonomi
internasional lainnya lebih banyak menggunakan mata uang asing dibanding mata
uang Rupiah. Dalam Undang-Undang No. 7/2011 tentang Mata Uang telah mewajibkan
penggunaan rupiah dalam setiap transaksi keuangan. Dalam UU tersebut membahas
mengenai : kewajiban penggunaan Rupiah, pengecualian kewajiban penggunaan
Rupiah, larangan menolak Rupiah, pencantuman harga barang dan jasa, sanksi dan
laporan pengawasan kepatuhan dan penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran yang
sah (legal tender) dalam perekonomian
nasional.
Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter juga telah mengeluarkan regulasi Ketentuan
PBI No. 17/3/PBI/2015 mengenai kewajiban penggunaan rupiah memiliki landasan
hukum yaitu UU mata uang no. 7/2011, UU kawasan ekonomi khusus, serta peraturan
menteri perdagangan tentang pencantuman harga barang dan tarif rupiah. Dari
sudut pandang kebangsaan, rupiah sebagai alat pembayaran negara yang sah
merupakan simbol kedaulatan NKRI serta menjadi identitas bangsa layaknya lagu
Indonesia raya dan bendera merah putih. Bahkan dalam pidato kenegaraan presiden
Jokowi dihadapan anggota DPR pada 14 agustus 2015 menekankan pentingnya menjaga
kedaulatan dengan selalu mengunakan rupiah. Lepasnya pulau Sipadan dan pulau
Ligitan dari wilayah NKRI merupakan salah satu contoh akibat minimnya transaksi
dan aktivitas ekonomi yang menggunakan rupiah.
3.3 Kebijakan Bank Indonesia dan
Pemerintah terhadap tingginya Penggunan Mata Uang Asing khususnya di Wilayah
Perbatasan NKRI
Di
tengah tekanan maraknya penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI khususnya di
wilayah perbatasan dalam melakukan transaksi ekonomi, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17/3/PBI/2015 yang ditetapkan pada tanggal
1 juli 2015 mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penerapan PBI ini sebagai implementasi UU Mata Uang 2011
diharapkan mampu mengurangi, bahkan menghilangkan transaksi dalam valuta asing
yang tidak sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan PBI ini, setiap transaksi serta
pencantuman harga di wilayah NKRI harus menggunakan rupiah. Namun, tingginya
transaksi domestik dalam dollar AS memberi pengaruh yang sangat signifikan
seperti banyaknya transaksi dollar AS yang sebenarnya dapat dilakukan dengan
menggunakan rupiah misalnya agen perjalanan wisata menawarkan harga dalam mata
uang asing, penjual barang elektronik yang mencantumkan harganya dalam dollar
AS, transaksi minyak, gas, properti, pelayaran, dan penerbangan.
Beberapa hal yang telah dilakukan BI dalam mengimplementasikan peraturan tersebut agar menyebar secara merata yaitu:
a) BI telah berkoordinasi dengan pemerintah
untuk menyelaraskan peraturan terkait PBI.
b) BI membuka sarana komunikasi melalui
instrumen contact center BICARA 131.
c) Melakukan edukasi dan sosialiasi, baik
kepada otoritas, pelaku usaha serta masyarakat luas khususnya pada masyarakat
yang tinggal di wilayah perbatasan mengenai pentingnya penerapan PBI kewajiban
penggunaan rupiah. Salah satu contoh yang dilakukan oleh BI adalah BI goes to campus sebagai ajang sosialisasi dan implementasi kebijakan.
d) BI juga menyelenggarakan konsultasi
kolektif untuk melayani permintaan informasi dan pertanyaan dari stakeholders setiap selasa dan kamis
pukul 09.00 WIB dan 13.30 WIB
e) Mengadakan sosialisasi kepada asosiasi
perbankan dan seluruh bank yang ada serta kepada seluruh jajaran kementerian.
f) Menandatangani nota kesepahaman terkait
PBI kewajiban penggunaan rupiah dengan pelaku usaha, diantaranya Asosiasi
Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO) dan Perhimpunan Hotel
dan Restoran Indonesia (PHRI).
g) BI dan POLRI juga telah menandatangani
nota kesepahaman untuk penanganan tindak pidana di bidang sistem pembayaran dan
kegiatan usaha penukaran valuta asing.
Berdasarkan
kebijakan PBI tersebut terdapat beberapa transaksi yang dikecualikan untuk
melakukan transaksi dalam bentuk mata uang asing seperti :
1) Transaksi
tertentu dalam rangka pelaksanaan APBN, meliputi :
a. Pembayaran
utang luar negeri;
b. pembayaran
utang dalam negeri dalam valuta asing;
c. belanja
barang dari luar negeri;
d. belanja
modal dari luar negeri;
e. penerimaan
negara yang berasal dari penjualan surat utang negara dalam valuta asing;
2) Transaksi
lainnya yang diatur dalam peraturanperundang-undangan. Penerimaan atau pemberian hibah dari atauke
luar negeri asing adalah hibah yang dilakukan oleh penerima atau pemberi hibah
yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. Apabila penerima dan pemberi
hibah berkedudukan di wilayah NKRI maka hibah harus dilakukan dengan
menggunakan Rupiah.
3) Transaksi
perdagangan internasional, meliputi :
a. kegiatan
ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik
Indonesia; dan/atau
b. kegiatan
perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara yang dilakukan dengan cara: 1) pasokan lintas batas (cross border
supply), yaitu penyediaan jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah negara lain
seperti pembelian secara online (dalam jaringan) atau call center; dan 2)
konsumsi di luar negeri (consumption abroad), yaitu “kegiatan perdagangan jasa
yang melampaui batas wilayah negara dalam bentuk konsumsi di luar negeri
(consumption abroad)” adalah kegiatan penyediaan jasa di luar negeri untuk
melayani konsumen dari Indonesia seperti warga negara Indonesia yang kuliah di
luar negeri atau rawat di rumah sakit luar negeri. Adapun transaksi untuk kegiatan tambahan
dalam kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean
Republik Indonesia tidak dikategorikan sebagai transaksi perdagangan
internasional sehingga wajib menggunakan Rupiah, antara lain meliputi : sandar
kapal di pelabuhan, bongkar muat kontainer, penyimpanan sementara kontainer di
pelabuhan, dan parkir pesawat di bandara.
4) Simpanan
di Bank
dalam bentuk valuta asing.
Simpanan di Bank dalam bentuk valuta
asing hanya dapat diselenggarakan oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing. Transaksi terkait simpanan di Bank yang melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing dapat berupa penyetoran dan/atau penarikan valuta asing.
5) Transaksi
pembiayaan internasional.
Transaksi pembiayaan internasional yang
diperbolehkan menggunakan valuta asing adalah transaksi pembiayaan yang
dilakukan oleh penerima dan pemberi pembiayaan yang salah satunya berkedudukan
di luar negeri. Dalam hal pemberi pembiayaan internasional berupa Bank maka
wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan pihak asing.
6) Kegiatan
usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank berdasarkan UndangUndang yang
mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah, meliputi: a. kredit dalam
valuta asing untuk kegiatan ekspor dan kegiatan lainnya; b. pasar uang antar
Bank dalam valuta asing; c. obligasi dalam valuta asing; d. sub debt dalam
valuta asing; e. jual beli surat berharga dalam valuta asing; dan f. transaksi
perbankan lainnya dalam valuta asing yang diatur dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah beserta peraturan
pelaksanaannya.
7) Transaksi
surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar
perdana dan pasar sekunder berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara dan surat berharga syariah Negara.
8) Transaksi
lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Undang-Undang yang mengatur mengenai
transaksi lainnya dalam valuta asing antara lain Undang-Undang mengenai Bank
Indonesia, Undang-Undang mengenai penanaman modal, dan Undang-Undang mengenai
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
Sedangkan
larangan penggunaan transaksi dalam bentuk valuta asing yaitu sebagai berikut :
a) Jual
beli barang dalam negeri
b) Pencantuman
harga (kuotasi) dalam rupiah dan valas atau biasa dikenal dengan dual quotation.
c) Label
harga barang dan menu restoran
d) Sewa
menyewa lahan dan properti
e) Biaya
jasa (jasa konsultan, kepariwisataan, dan lain-lain)
f) Tarif
bongkar muat peti kemas, kargo, dan tiket pesawat.
g) Kontrak
(klausul harga, biaya dalam kontrak atau perjanjian)
h) Dokumen
penawaran, pemesanan, tagihan, dan bukti pembayaran.
Bab
IV
Simpulan
4.1 Penutup
NKRI sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati oleh seluruh
warga negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah
Rupiah sebagai mata uang yang dikeluarkan oleh NKRI. Rupiah dipergunakan
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI dalam kegiatan perekonomian
nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Pengaturan kewajiban
penggunaan Rupiah di wilayah NKRI diperlukan untuk mendukung kestabilan nilai
tukar Rupiah. Pengaturan kewajiban
penggunaan Rupiah di wilayah NKRI juga dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan
pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai mata uang yang mewajibkan
penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran,
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau
transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di wilayah NKRI. Pengaturan
kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI perlu tetap memperhatikan adanya
kebutuhan penggunaan valuta asing dalam masyarakat yang diperkenankan
berdasarkan Undang-Undang. Penerapan
kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI dilakukan dengan memperhatikan
kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan
pertumbuhan ekonomi nasional.
4.2 Saran
Melihat problematika marak dan tingginya
kegiatan transaksi non rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) khususnya di daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain,
maka penulis menyarankan agar kegiatan edukasi dan sosialisasi harus terus
dilakukan hingga mencapai masyarakat perbatasan. Hal ini bertujuan untuk
menanamkan sikap nasionalisme dalam menjaga kedaulatan rupiah di negeri
sendiri. Dari segi hukum, diharapkan agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat
menegakkan hukum perundang-undangan khususnya yang menyangkut UU tentang mata
uang. Tidak lupa juga penulis menyarankan agar pembangunan infrastruktur di
daerah perbatasan dapat diperhatikan secara serius. Pembangunan infrastruktur
yang baik akan menunjang distribusi barang dan jasa hingga ke pelosok negeri
sehingga kendala masyarakat dalam hal ketersediaan barang dan jasa yang memicu
kegiatan transaksi keuangan non rupiah dapat diatasi.
Daftar pustaka
Gerai
info BI edisi 52/2015
Majalah
aktual edisi 45/2 – 16 desember 2015. Hlm.5
Undang-Undang No.
7/2011 Tentang mata Uang
Yuliati. Sri Handaru,
Handoyo Prasetyo, (2005), Dasar-Dasar Manajemen Keuangan
Internasional, Yogyakarta, Andi.
www.bi.go.id (diakses
tanggal 26 september 2017)
www.detikfinance.com
(diakses tanggal 26 september 2017)
Comments
Post a Comment